(Tulisan ini saya sadur dari tulisan Bapak Suharman melalui milist Bus Trans-Jogja)
Alkisah…. saya tiba dari CKG dengan Garuda jam 15.55 WIA (Waktu Indonesia bagian Adisucipto), terus saya turun dan keluar dari area bandara menuju ke luar. Ketemu Mantan Komisioner HAM, pak Hasto lalu terjadi Dialog Utara Selatan (maksude itu ngobrol ngalor ngidul, dari soal Komnas HAM sampai soal Timor Leste. Munir tentu saja jadi bahan serius). Nah usai basa basi…
Saya menuju ke lorong terowongan baru milik Bandara yang menghubungkan area parkir. Wah ya namanya lagi dalam proses, itu lho debu sama kebulnya kendaraan berpadu serasi menyambut kedatangan kita para pengguna moda angkutan udara. Kenalan saya, ilmuwan jerman yang lagi riset tentang Jawa pra Kemerdekaan komentar “wah begini ya kalau Yogya musim kemarau!” Saya cepet menjawab ” ya ya ya begini mam”, Itu cuma mau nutupi betapa kita tidak bisa memanage pengelolaan pembangunan area dengan ditutupi seng apa gimana gitu loch.
Naik ke halte TJogja (Trans-Jogja,ed) saya sempat mikir, apa yang dikemukakan pak Mun (Prof. Dr-ing. Ir. Ahmad Munawar, M.Sc, dosen Teknik Sipil UGM, ed) beberapa waktu lalu ada benarnya. Sekarang makin banyak yang naik Tjogja. Teman Jerman saya bilang, bus ini lebih “sopan” dari bus kota lain di Yogya. Dia pilih bersepeda jika disuruh milih mana, naik bus kota non Tjogja apa bersepeda.Wah agak seneng saya mendengar kata dia, tapi sedih juga lho, ternyata perilaku bus kota non Tjogja kita dimata teman luar negeri kok begitu ya.
“Bus bapak 3B pak, bapak mohon menunggu, Bus sebelumnya, Dua menit baru saja lewat Pak”, kata pramuladi Halte menjawab pertanyaan saya dengan sopan. Paduan jilbab dengan seragamnya sangat pas, wah kalo semua modelnya gini, enak dilihat, nyaman dalam pelayanan dan mak nyussss. Dia menjelaskan rute mana yang mau saya pakai, kalau saya mau ke RS Wirosaban (harap tahu saja, saya tetap tinggal di Ndeso Mbantul, cuma naruh mobil di Wirosaban tempat famili. Ini gara-gara Pak Mun tidak ikuti saran pak SAM (Dr. Samudra Wibawa, dosen Fisipol UGM, ed)untuk bangun halte di depan rumah saya yang dilalui TJogja langsung ke Fisipol).
Bus lain datang dan pergi. Saya bisa mengamati bagaimana teman teman di halte memberikan pelayanan yang sangat baik. Senyuman dan penjelasan yang jelas semua indah dan baik. Cuma itu lho, mungkin karena halte non AC mas-mas yang jaga itu ada yang keringatan, nah pas nggandhul di pintu gitu, keringat di keteknya itu lho yang perlu di pikirkan solusinya (saya mohon pak Giyanto (dosen Psikologi UGM, ed) menyumbang saran agar dampak psikologisnya tidak ke penumpang).
Bus saya akhirnya datang juga. Ada enam penumpang yang telah ada dalam bus, satu cewek dan lima laki-laki. Empat penumpang laki-laki yang duduk di belakang anak muda yang bergaya sok nguthani, tapi ya tetep ketok ndesonya gitu. Nah yang cewek ini yang perlu perhatran, kebetulan roknya agak tinggi (mungkin rok waktu SLTP dipakai apa ya). Nah pas duduk itu kebingungan dia, apalagi di depannya ada orang alim seperti aku ini, Yang salah yang mana, desain kursinya apa roknya yang terlalu tinggi. Ini tugas mas SAM untuk mikirkan kinerja penjahit kita he he he . Tetapi tugas pak Giyanto juga untuk menaksir dampak psikologisnya.
Setiap mendekati halte, pramuladi dalam bus selalu menyampaikan penjelasan yang gamblang, cuma karena lelah atau apa suaranya agak kurang keras, ditimpa suara mesin-mesnin jalanan jadi kurang gimana gitu. Apa ya perlu sounsystem mini dalam bus ya pak Mun?. :Sebentar lagi kita akan sampai di Halte Njanti, Para penumpang yang akan melanjutkan ke jalur …. Mohon dipersiapkan jangan sampai ada bawaan yang tertinggal.” Kata-katanya baku banget, nuansa Yogyanya tidak “ketok” mbok ya di tambah kata-kata, “Monggo yang mau ….. Sugeng tindak…. dll).
Jam 16.40-an kira kira ….
Sampai di Terminal Giwangan bus masuk, menuju halte sebelah timur itu. Nah, setelah prosedur tetap dilakukan… penumpang turun, ada empat penumpang yang masih dalam bus, termasuk Kanjeng Sultan Mbantul Hadiningrat.. Tiba-tiba bus tidak melaju ke depan, tetapi malah mundur beberapa meter.keluar dari area halte, pintu ditutup kembali, kemudian sopirnya bilang “maaf kita mau istirahat sebentar”. Saya tanya “mau kemana mas?”, “Makan dulu pak, belum makan nich”. Lalu keluar dari bus membawa ransum makan nya dan gelas akua, duduk di lantai gedung belakang halte itu. Makan ngethamul euuuunnnnaaakkk tenannnnn. Mbaknya pergi entah kemana, saya tidak lihat glibetnya…
Saya berempat ibarat dalam akuarium, tidak bisa keluar karena bus ditutup dan tidak berhenti pas di halte. Semua gelisah, saya pingin pipis tapi tidak bisa keluar penumpang lain juga mangkel karena keburu juga. Padahal saya juga belum ashar lho, jadi saya ya sempat mangkel, urusan gusti Allah saya belum tertunaikan, tetapi ini karena ada mahluk Alloh yang lapar. Ya Alloh maha pengampun gitu aja lah.
Di halte…..
Bus lain yang mau masuk ditutupi moncongnya bus saya… Semua yang mau ke halte maju dulu baru mundur diabadi pramuladi laki-laki halte itu. “Terus-terus, mundur kanan kanan ,stop!” Jadi kesimpulannya, bus yang berhenti ini menghalangi bus lain yang mau masuk halte. Nah ini tugas pak Rizki.
Sekitaran 10 menit kami dalam akuarium Bus Tjogja itu.. Ada hikmah luar biasa yang saya peroleh. Langsung saya SMS Pak Mun pak, ini manusiawi lho. Kita perlu cari mekanisme seperti apa agar semua bisa baik.
Tepat jam 17.36 saya turun di Halte Nitikan Wirosaban. Ada banyak cerita lain yang bakal saya sampaikan. Yang jelas turun dari Bus TJogja aku ditampani becak, dan tukang becak itu tahu, “saya tunggu sini saja dapat penumpang kok pak” kata tukang becak itu. Alhamdulillah ini yang kita pentingkan ya Pak Mun.
Sampun ngaten rumiyin.
Salam dari Pedesaan
Suharman.