Daily Archives: October 17, 2008

‘Segosegawe kurang realistis’

Rabu, 15 Oktober 2008 10:31WIB, Harian Jogja

JOGJA: Kalangan sekolah merasa pesimis program Sepeda Kanggo Sekolah Lan Nyambut Gawe (Segosegawe) bisa terlaksana. Pasalnya, mayoritas siswa sekolah menengah di Kota Jogja berasal dari luar kota seperti Sleman dan Bantul yang jaraknya 5 kilometer lebih dari sekolah. Namun, khusus larangan siswa sekolah menengah menggunakan mobil pribadi ke sekolah, pihak sekolah sudah mulai mengeluarkan tata tertib dan imbauan kepada orangtua siswa. Seperti di SMU 9 Jogja, imbauan sudah disebar kepada orangtua siswa. Hanya, imbauan Walikota itu dirasa kurang realistis.
Kepala SMU 9 Jogja, Hardja Purnama, menuturkan pihaknya sudah mengimbau orangtua siswa dengan menitipkan surat kepada siswa bersangkutan. “Soal apakah sampai atau tidak (ke orangtua), kami belum tahu. Kami imbau agar siswa diantar saja ke sekolah atau naik kendaraan umum,” ujarnya, kemarin.
Pada tahun ajaran baru Juli lalu, Walikota Jogja Herry Zudianto mengeluarkan Peraturan Walikota (Perwal) No 24/2008 tentang Pedoman Penyusunan Tatatertib Sekolah. Dalam panduan pembuatan tata tertib sekolah itu, perwal menekankan agar sekolah mencantumkan larangan siswa membawa mobil ke sekolah.
“Kalau larangan memang sejak dulu sudah ada di dalam tatib (tata tertib) sekolah. Tapi kami tidak pernah keluarkan sanksi karena orangtua mau bertanggung jawab atas keamanan mobil di pelataran sekolah,” kata Hardja.
Dalam temuan pihak kesiswaan SMU 9, masih ada 10 siswa berangkat sekolah mengendarai mobil sendiri. Selebihnya, mayoritas mengendarai sepeda motor, dijemput orangtua dan menggunakan angkutan umum. “Yang pakai sepeda sekitar 10 orang, bisa dilihat di parkiran…”
Dia mengaku memberi apresiasi atas imbauan Walikota kepada pelajar Jogja dan pegawai yang letak rumahnya kurang dari 5 kilometer dari sekolah atau tempat kerja agar menggunakan sepeda. Namun persoalannya, program bersepeda justru mendapat pertanyaan dari sejumlah orangtua siswa. “Rata-rata orangtua siswa mempertanyakan soal keamanan bersepeda di jalan,” ujar Hardja.
Tak bisa dipaksakan
Senada, Kepala Bagian Kesiswaan SMU Negeri 3 Jogja, Hamid Supriyatna, juga menilai program Segosegawe sulit terwujud. Selain ada penolakan dari sejumlah orangtua murid, kesediaan siswa menggunakan sepeda juga tidak bisa dipaksakan.
Sepeda, menurut Hamid, meski lebih ramah lingkungan, daya mobilitasnya jelas jauh lebih rendah ketimbang motor. Di sekolahnya, dari total 689 siswa, hanya ada sekitar 10 siswa yang selama ini menggunakan sepeda kayuh.
Mayoritas mengendarai sepeda motor dan sisanya diantar orangtua atau menggunakan angkutan umum. “Siswa sekarang tidak bisa disamakan dengan siswa masa lalu. Orangtua siswa juga sudah berbeda,” ujarnya.
Apa yang dituturkan Hamid tak sekadar isapan jempol. Buktinya, saat ditanya apakah bersedia bersekolah pakai sepeda, Evelin, salah satu siswa Stella Duce 2, menjawab singkat, “Hari gini naik sepeda? Panas. Belum lagi di jalan sepeda nggak dianggep, diserempet orang terus ditinggal pergi mau apa hayo?”
Zahra Zafira Mutiara, Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) SMAN 3 Jogja, mengatakan kendati program Segosegawe telah diluncurkan Pemerintah Kota (Pemkot) Jogja, perwujudan Jogja kembali menjadi kota sepeda tetap bakal sulit dilakukan. “Hal ini karena masyarakat pada umumnya sudah terbiasa menggunakan kendaraan bermotor, terutama sepeda motor.”
Dia mengaku setuju dan mendukung program Pemkot Jogja tersebut, namun dirinya merasa anjuran bagi yang rumahnya di bawah 5 km untuk bersepeda kurang relevan. Zahra berpendapat ukuran dekat yang lebih cocok adalah 3 km.
“Kami tahu kemarin ada kegiatan peluncuran Segosegawe, tapi sepertinya siswa di sini tidak ada yang mengikuti, karena sepekan ini kebetulan pas ada ujian mid semester di sini,” terangnya.
Zahra juga menjelaskan sebelum program Segosegawe diuncurkan, beberapa siswa di sekolahnya sudah menggunakan sepeda sebagai sarana transportasi sehari-hari.
“Jumlahnya memang tidak banyak, hanya sekitar lima sampai sepuluh persen. Biasanya mereka yang bersepeda itu tinggalnya di dekat sekolah.”  Zahra menilai siswa yang rumahnya jauh dari sekolah bakal kesulitan kalau dipaksakan harus naik sepeda.
Jalanan jadi semrawut
Menurutnya, program Segosegawe merupakan salah satu usaha pemerintah untuk mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. “Sekarang kan kebanyakan naik motor. Malah pelajar SMP pun ikut-ikutan naik motor.”
Padahal, sambung Zahra, pada umumnya remaja masih labil, sehingga keadaan jalanan menjadi semrawut. Selain itu, ia menilai isu global warming adalah alasan selanjutnya dari peluncuran program tersebut.
Ditegaskannya, program ini nantinya akan berakibat menaikkan jumlah pengguna sepeda, meskipun menurutnya tidak akan banyak. “Kebutuhan kita untuk bergerak cepat kan penting banget, jadi bakal sedikit saja yang beralih ke sepeda,” tandas Zahra.
Diberitakan sebelumnya, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X meluncurkan program Segosegawe di Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta, Senin (13/10). Program tersebut digagas oleh Pemkot Jogja.
Sekitar 2.000 peserta dari berbagai elemen warga dan berasal dari berbagai instansi di lingkungan Pemkot Jogja memeriahkan acara itu. Tidak ketinggalan para guru taman kanak-kanak (140 orang), guru SMP (1.177), guru SMA (844), guru SMK (172) dan karyawan (52).
“Kami datang karena ada surat yang meminta kami datang ke sini. Awalnya launching akan diadakan 7 Oktober pukul 06.00 WIB, tapi ternyata baru bisa dilakukan saat ini, padahal pada tanggal segitu saya membawa 35 anak dan dua pendamping,” kata Ign Atang Hartoko.
Ditemui di sela-sela acara, Atang yang juga guru SMP Pangudi Luhur 1 Yogyakarta dan tergabung dalam Ngepit Kemringet (nGeNget) Club itu lalu menunjukkan surat yang dikeluarkan Walikota Jogja bernomor 551/3261. Dia menuturkan bukan cuma dirinya yang kecewa.
Sekolah lain, seperti SMA Stella Duce, juga mengalami hal serupa soal keberadaan dan konsep dari Segosegawe. “Kami tidak paham dengan apa yang terjadi, karenanya saat itu kami sepakat pulang ke sekolah masing-masing tepat pukul 07.00 WIB. Kami berombongan (35 anak dan dua guru pendamping) pulang ke sekolah dengan perasaan bingung, benarkah Walikota membuat surat seperti itu?” ujar dia.
Paguyuban Onthel Jogja (Pojok) yang beranggotakan 400 orang dan menggunakan sepeda klasik, sebanyak 30 anggotanya menghadiri acara launching Segosegawe.
Ketua Pojok, Towil, menyambut baik ide untuk menghidupkan kembali Kota Jogja sebagai kota sepeda. Namun, dia meminta Pemkot hendaknya juga memperhatikan infrastruktur yang ada.
“Perlu diberlakukan lagi jalur hijau yang saat ini telah usang. Selain itu, pembuatan fasilitas publik terutama fasilitas parkir khusus untuk sepeda harus segera dilakukan. Kami juga mengusulkan agar Jalan Malioboro bisa dijadikan kawasan bebas kendaraan,” cetus Towil bersemangat.

Oleh Nugroho Nurcahyo, Deny Hermawan & Jumali

Sumber : Harian Jogja

3 Comments

Filed under My Jogja, Transport News

Bus kota tolak trayek baru Trans Jogja

Kamis, 16 Oktober 2008 10:56 WIB, Harian Jogja

DANUREJAN: Sedkitar 30 pemilik bus yang tergabung dalam Pusat Koperasi Karyawan (Puskopkar) dan Koperasi Serba Usaha `Ngandel` Kabupaten Sleman, yang bergerak di sektor angkutan umum Rabu(15/10), mengadu ke DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Mereka memprotes rencana Trans Jogja memperluas trayek hingga Kaliurang dan Godean.

Para pengurus koperasi itu menilai jika rencana itu direalisasikan pasti akan mematikan angkutan umum non-Trans Jogja.

“Kami keberatan dengan rencana PT Jogja Tugu Trans yang akan mengoperasikan bus Trans Jogja di jalur yang selama ini telah kami gunakan, apalagi kondisi ekonomi saat ini semakin sulit,” kata Ngaliman, pemilik Bus Puskopkar

Ngaliman mengatakan, berdasarkan informasi yang dia dengar, Trans Jogja  akan memperluas jalur trayeknya. Dua jalur yang akan dibuka adalah Jogja-Kaliurang dan Jogja-Godean. Jika itu dilakukan, jelas pendapatan bus kota seperti Puskopkar akan merosot drastis.

Ditambahkan, dengan beroperasinya Trans Jogja selama ini saja sudah menjadikan mereka kesulitan. Banyak bus yang akhirnya memilih untuk dikandangkan karena jika beroperasi hanya akan membuang-buang biaya operasional akibat sepinya penumpang.

Menurut Ngaliman, dari sekitar 111 bus yang tergabung dalam Puskopkar, tinggal 80 bus saja yang masih beroperasi karena kondisi bus yang tidak memadahi. Kondisi ini akan semakin buruk jika Trans Jogja jadi menambah trayeknya.

“Kami pada awalnya mengoperasikan 111 bus untuk melayani trayek tersebut, tetapi sekarang yang beroperasi tinggal 80 bus, akibatnya pendapatan dari tiket Rp2.500 per penumpang umum dan Rp1.500 untuk pelajar terus menurun,” katanya.

Sutrisno, salah satu pemilik bus yang lain mengatakan pemerintah pemerintah daerah mempertimbangkan masalah ini, dan diharapkan memberi subsidi kepada koperasi agar tetap mampu mengoperasikan angkutan umum.

“Selama ini subsidi diberikan kepada manajemen bus Trans Jogja, karena itu kami juga meminta pemerintah daerah memberi subsidi yang sama,” katanya.

Belum berencana
Dihubungi terpisah, Kepala Bidang Angkutan Dinas Perhubungan Provinsi DIY, Sigit Haryanto menegaskan belum berencana untuk menambah jalur Trans Jogja ke kawasan Godean, Gamping dan Kaliurang. “Belum ada rencana, kami baru optimalkan yang ada,”ujarnya kemarin. Pengoptimalan itu meliputi penambahan halte dan peningkatan pelayanan.

Rencana pengembangan baru akan dilakukan setelah ada pembicaraan dari berbagai pihak seperti masyarakat, akademisi, Pemprov, dan PT JTT. Pengembangan bus trans Jogja ke sejumlah wilayah membutuhkan kajian akademik dengan sejumlah keinginan dari masyarakat. “Dalam waktu dekat kami mesti evaluasi layanan bus trans,”terangnya.

Ketua Komisi C DPRD DIY Sukamto yang menerima pengurus koperasi tersebut mengatakan akan memfasilitasi pertemuan antara Puskopkar dan Koperasi Serba Usaha “Ngandel” dengan PT Jogja Tugu Trans serta dinas terkait untuk membahas masalah trayek tersebut.

“Mengenai subsidi akan disampaikan kepada pemerintah daerah, apakah bisa memberikan subsidi yang sama kepada mereka seperti yang diberikan kepada bus Trans Jogja,” katanya

Oleh Shinta Maharani

Sumber : Harian Jogja

2 Comments

Filed under Public Transportation, Trans Jogja, Transport News

Jalan di Jogja hanya manjakan mobil

Kamis, 16 Oktober 2008 10:57 Harian Jogja

JOGJA: Infrastruktur lalu lintas di Jogja lebih memanjakan pengguna kendaraan pribadi. Hal ini menjadikan budaya bersepeda sulit berkembang. “Kendaraan pribadi yang memakan jalan adalah ancaman bagi sistem transportasi kota Jogja yang kian padat,” kata Deputi Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral Universitas Gadjah Mada Arif Wismadi dalam seminar yang diselenggarakan Impulse (Institute for Multiculturalism and Pluralism Studies), di percetakan Kanisius, Depok, Sleman, kemarin.

Dia mengatakan, mobil pribadi memiliki tingkat merugikan lebih tinggi, antara lain rakus memakan ruang, volume meningkat, boros energi, penghasil polusi tertinggi dan penyebab kecelakaan dan penyengsara utama di jalanan.Dalam catatan Pustral, kendaraan pribadi menjadi penyumbang karbondioksida terbesar (45 gram/pnp-km) ketimbang pesawat terbang (30 gr/pnp-km), ferry (24), bus umum (19) kereta api (5) dan subway (3).

Menurutnya, langkah pemerintah kota seringkali memanjakan pengendara mobil, dengan adanya parkir sembarangan dan melebarkan jalan. Padahal pertumbuhan pemakai kendaraan pribadi tidak akan bsia diimbangi tambahan infrastruktur berupa jalan. “Semestinya bukan menambah luas jalan, tapi mengubah sistem transportasi yang bisa membuat warga memilih menggunakan kendaraan umum,” katanya.

Sedangkan dalam penilaiannya, transportasi di Jogja memiliki citra pelayanan buruk, tingkat polusi tinggi, dan mix traffic. Buruknya pelayanan angkutan umum dan bercampurnya bus dengan  kendaraan pribadi dalam kemacetan,  kata Arif, “akan menjadikan angkutan umum semakin ditinggalkan masyarakat.”

Arif mencontohkan proyek busway di DKI Jakarta adalah contoh keberhasilan Mass Rapid Transport. “Trans Jogja saya kira merupakan proyek secara konsep masih sulit mengubah budaya warga beralih ke kendaraan  umum,” katanya.

Beberapa waktu lalu, Walikota Kota Jogja Herry Zudianto berkampanye menggunakan sepeda untuk bersekolah dan bekerja. Terutama bagi warga kota yang memiliki jarak antara tempat tinggal dan tempat kerja dan sekolah kurang dari 5 kilometer. Rencana ini dinilai tidak realistis.

Pratikno, Dosen Fisipol UGM mengatakan, rencana memasyarakatkan penggunaan sepeda sebagai transportasi pribadi membutuhkan rekayasa infrastruktur, sosial, ekonomi, politik dan budaya. “Butuh rekayasa di sejumlah sektor itu,” ujarnya. Sebab, tanpa didukung infrastruktur penjamin kenyamanan pengguna sepeda, masyarakat akan enggan memakai sepeda.

Budaya bersepeda masih dianggap alat transportasi kalangan bawah dan cenderung memalukan secara prestise. Sehingga kata Pratikno, “Rekayasa sangat diperlukan, terutama rekayasa politik dari pemerintah kota untuk me-revolusi mindset dari rekayasa yang lain.”

Oleh Nugroho Nurcahyo

Sumber : Harian Jogja

Leave a comment

Filed under My Jogja, Transport News

Segosegawe menuai protes

Kamis, 16 Oktober 2008 11:04 Harian Jogja

UMBULHARJO: Belum genap sepekan diluncurkan, program Sepeda Kanggo Sekolah Lan Nyambut Gawe (Segosegawe) yang digagas Pemerintah Kota (Pemkot) Joga menuai protes dari sejumlah anggota DPRD setempat. Pasalnya, program Segosegawe yang bertujuan menumbuhkembangkan kecintaan untuk kembali menggunakan sepeda, dalam realisasinya justru bersifat top down dan bukan mengarah pada kesadaran warga. Ketua Komisi I DPRD Kota Jogja, Iriantoko Cahyo Dumadi, Rabu (15/10), mengatakan kegiatan Segosegawe seharusnya dikembalikan kepada fungsi dan komitmen awal dalam pembuatan gerakan tersebut.
Adanya surat Peraturan Walikota (Perwal) yang melarang peserta didik terutama siswa SMP menggunakan sepeda motor dan siswa SMA menggunakan mobil, telah memperlihatkan disorientasi atas gerakan tersebut.
“Awalnya kan mengarah pada kesadaran, sehingga seharusnya tidak perlu ada surat semacam itu. Pemerintah Kota seharusnya juga mempertimbangkan sarana yang akan dibangun untuk mendukung program tersebut,” katanya.
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPRD Kota Jogja, Zuhrif Hudaya, justru mempertanyakan penggunaan anggaran dalam kegiatan launching Segosegawe. Sebab, selama ini pihaknya belum pernah menyetujui pengajuan anggaran untuk kegiatan Segosegawe dalam APBD Kota Jogja 2008 Perubahan.
“Sekecil apapun [dananya], ini tetap kegiatan, seharusnya ada transparansi anggaran. Ya sangat lucu ketika kegiatan dengan melibatkan pihak sponsor tetapi yang menjalankan Pemkot, karenanya harus ada kejelasan, biarpun ini dibiayai swasta.”
Terpisah, Walikota Herry Zudianto mengatakan dikeluarkannya Perwal tersebut untuk memfilter orangtua yang ingin memanjakan anaknya, karena selama ini hal tersebut dianggap tidak membentuk karakter jati diri anak.
“Anak SMA dibelikan mobil pribadi, termasuk untuk sekolah. Itu akan membius anak seolah-olah keberhasilan orangtuanya identik dgn kesuksesan dirinya, sehingga dia tidak terpacu dengan meraih prestasi dari dirinya sendiri. Anak SMP diberi motor pribadi, jelas tidak mungkin tak melanggar hukum, karena pasti belum bisa memproses SIM,” katanya.
Herry menandaskan keinginan untuk memanjakan anak bukannya dilarang sama sekali, namun dengan catatan jangan dianggap sebagai motor pribadi sepenuhnya.
“Ke sekolah sejauh kurang dari 3 kilometer wajib bersepeda itu merupakan bagian dari upaya melatih dan membiasakan diri kepada anak untuk melaksanakan arti kesederhanaan,” tegas Herry.
Dia juga menyayangkan sikap pesimis sejumlah kepala sekolah terhadap keberlanjutan program Segosegawe. Herry melihat saat ini telah terjadi kemerosotan dalam hal wawasan pendidikan di sebagian kalangan pendidik di Kota Jogja.
“Mereka hanya menangkap wawasan mendidik. Seratus persen berorientasi pada aspek akademis. Tak pernah terbersit wacana pendidikan sesungguhnya untuk membentuk karakter secara utuh dari peserta didik. Selain itu, mengajarkan sikap pesimistis, tidak berdaya untuk berani membuat suatu perubahan nilai-nilai yang berlaku ke nilai-nilai yang seharusnya tanpa mencoba terlebih dahulu,” katanya.
Herry mengaku pesimistis atas makna dari perjuangan bangsa, sehingga dia tidak berani banyak berharap jika diminta menegakkan aturan yang ada. Dia juga mengatakan anggaran acara launching Segosegawe memang tidak didapatkan dari APBD Kota Jogja.
Anggaran tersebut berasal dari sponsorship. Dengan begitu, lanjut Walikota, ke depan pihaknya akan mampu meyakinkan Dewan untuk mendukung tindak lanjut dari program Segosegawe.
“Saya sebelumnya sudah memikirkan lebih mendalam, sehingga saya yakin pasti akan ada yang mau mensponsori…” Menurut Herry, saat ini Pemkot telah melakukan koordinasi dengan beberapa pihak untuk mempercepat realisasi terhadap tindak lanjut program Segosegawe.
Kelanjutan dari program tersebut di antaranya dengan melakukan pemetaaan kawasan yang direkomendasikan bagi pengguna sepeda dan rencana memberikan tempat parkir khusus bagi pengguna sepeda. “Sedang kami rapatkan, dalam waktu dekat akan selesai,” katanya.

JALUR/KAWASAN AMAN BAGI PENGGUNA SEPEDA
Di Kota Jogja (direkomendasikan menjadi alternatif jalur sepeda)
– Jl Senopati (rindang; awas jalur ramai)
– Jl Sultan Agung sisi Utara (rindang; awas jalur ramai)
– Jl Kusumanegara-Jl Sukonandi-Jl Kapas-Jl Cendana sisi Utara (rindang; awas jalur ramai)
– Jl Nyi Pembayun Kotagede (menghindari kepadatan Jl Mondorakan-Jl Kemasan)
– Jalan tembus antara Jl Rejowinangun dan Jl Ngeksigondo (informasi ada di Peta Hijau Jeron Beteng 2002 dan 2004)
– Alun-Alun Pura Pakualaman (ruang terbuka hijau, ada beberapa PKL makanan)

Oleh Jumali

Sumber : Harian Jogja

Leave a comment

Filed under My Jogja, Transport News

Sego Segawe, jangan cuma mimpi

Kamis, 16 Oktober 2008 12:02 Harian Jogja

Kenangan tentang kota Jogja yang ramah saat bersepeda beberapa tahun silam seakan menjadi impian bagi warga Kota Pelajar saat ini. Namun, apa mungkin hal itu akan terjadi kembali, disaat panas terik, polusi kendaraan bermotor memenuhi setiap sudut Kota Jogja?

Cita-cita Pemerintah Kota (Pemkot) Jogja dan warga di 14 kecamatan ada di Kota Gudeg untuk mewujudkan Jogja sebagai City of Tolerance terutama bagi pengguna sepeda, akan menemukan tantangan yang besar.

Namun keinginan yang besar dengan niat membersihkan dan menciptakan udara segar, diharapkan dapat terlaksana dengan diluncurkannya program Sego Segawe singkatan dari Sepeda Kanggo Sekolah Lan Nyambut Gawe, yang artinya Sepeda untuk sekolah dan bekerja dicanangkan oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Senin (13/10) lalu di Alun-Alun Selatan.

Ribuan peserta, mulai dari siswa SD, SMP, SMA, karyawan, guru maupun pejabata tidak ketinggalan masyarakat yang mencintai sepeda turut ambil bagian dalam kegiatan yang diharapkan dapat membuka mata dan hati betapa indahnya lingkungan yang bebas dari polusi.

Tujuan program Segosegawe memang ditujukan bagi pelajar di Jogja agar  siswa yang selama ini mengendarai kendaraan bermotor dapat beralih ke sepeda.

Sebuah program yang sejatinya mendapat dukungan dengan harapan terciptanya udara yang sejuk dan kenyamanan Kota Jogja. Bukan mengembalikan kenangan masa silam, tapi menjadikan kota ini bersih dan tetap menjadi istimewa dengan budaya yang tak akan perang hilang.

Hanya saja yang jadi persoalan, apakah infrastruktur yang ada sudah mendukung program tersebut. Keselamatan pengendara sepeda di tengah-tengah arus lalu lintas Kota Jogja yang demikian padat, sudahkah dipikirkan.

Sejatinya, jangan cuma janji memberikan santunan bagi yang celaka tapi sarana atau sediakan ruas jalan khusus bagi sepeda. Alangkah bijaknya jika hal itu yang dilakukan. Artinya lebih baik mencegah daripada mengobati.

Ditambah lagi, kalangan sekolah merasa pesimis program Sepeda Kanggo Sekolah Lan Nyambut Gawe (Segosegawe) bisa terlaksana. Pasalnya, mayoritas siswa sekolah menengah di Kota Jogja berasal dari luar kota seperti Sleman dan Bantul yang jaraknya 5 kilometer lebih dari sekolah.

Bagaimana siswa harus menggunakan sepeda dengan jarak yang cukup jauh dan memakan banyak tenaga. Inilah yang harus dan juga dipikirkan. Menurut hemat kami, selain pengadaan infrastruktur juga harus dipikirkan bagi siswa yang letak sekolahnya jauh dari rumah. Selayaknya program yang baik ini mendapat dukungan semua pihak, dan itu harus dilakukan dengan mencari jalan keluarnya, jangan hanya Segosegawe cuma menjadi mimpi.

Sumber : Harian Jogja

1 Comment

Filed under My Jogja, Transport News