Rabu, 15 Oktober 2008 10:31WIB, Harian Jogja
JOGJA: Kalangan sekolah merasa pesimis program Sepeda Kanggo Sekolah Lan Nyambut Gawe (Segosegawe) bisa terlaksana. Pasalnya, mayoritas siswa sekolah menengah di Kota Jogja berasal dari luar kota seperti Sleman dan Bantul yang jaraknya 5 kilometer lebih dari sekolah. Namun, khusus larangan siswa sekolah menengah menggunakan mobil pribadi ke sekolah, pihak sekolah sudah mulai mengeluarkan tata tertib dan imbauan kepada orangtua siswa. Seperti di SMU 9 Jogja, imbauan sudah disebar kepada orangtua siswa. Hanya, imbauan Walikota itu dirasa kurang realistis.
Kepala SMU 9 Jogja, Hardja Purnama, menuturkan pihaknya sudah mengimbau orangtua siswa dengan menitipkan surat kepada siswa bersangkutan. “Soal apakah sampai atau tidak (ke orangtua), kami belum tahu. Kami imbau agar siswa diantar saja ke sekolah atau naik kendaraan umum,” ujarnya, kemarin.
Pada tahun ajaran baru Juli lalu, Walikota Jogja Herry Zudianto mengeluarkan Peraturan Walikota (Perwal) No 24/2008 tentang Pedoman Penyusunan Tatatertib Sekolah. Dalam panduan pembuatan tata tertib sekolah itu, perwal menekankan agar sekolah mencantumkan larangan siswa membawa mobil ke sekolah.
“Kalau larangan memang sejak dulu sudah ada di dalam tatib (tata tertib) sekolah. Tapi kami tidak pernah keluarkan sanksi karena orangtua mau bertanggung jawab atas keamanan mobil di pelataran sekolah,” kata Hardja.
Dalam temuan pihak kesiswaan SMU 9, masih ada 10 siswa berangkat sekolah mengendarai mobil sendiri. Selebihnya, mayoritas mengendarai sepeda motor, dijemput orangtua dan menggunakan angkutan umum. “Yang pakai sepeda sekitar 10 orang, bisa dilihat di parkiran…”
Dia mengaku memberi apresiasi atas imbauan Walikota kepada pelajar Jogja dan pegawai yang letak rumahnya kurang dari 5 kilometer dari sekolah atau tempat kerja agar menggunakan sepeda. Namun persoalannya, program bersepeda justru mendapat pertanyaan dari sejumlah orangtua siswa. “Rata-rata orangtua siswa mempertanyakan soal keamanan bersepeda di jalan,” ujar Hardja.
Tak bisa dipaksakan
Senada, Kepala Bagian Kesiswaan SMU Negeri 3 Jogja, Hamid Supriyatna, juga menilai program Segosegawe sulit terwujud. Selain ada penolakan dari sejumlah orangtua murid, kesediaan siswa menggunakan sepeda juga tidak bisa dipaksakan.
Sepeda, menurut Hamid, meski lebih ramah lingkungan, daya mobilitasnya jelas jauh lebih rendah ketimbang motor. Di sekolahnya, dari total 689 siswa, hanya ada sekitar 10 siswa yang selama ini menggunakan sepeda kayuh.
Mayoritas mengendarai sepeda motor dan sisanya diantar orangtua atau menggunakan angkutan umum. “Siswa sekarang tidak bisa disamakan dengan siswa masa lalu. Orangtua siswa juga sudah berbeda,” ujarnya.
Apa yang dituturkan Hamid tak sekadar isapan jempol. Buktinya, saat ditanya apakah bersedia bersekolah pakai sepeda, Evelin, salah satu siswa Stella Duce 2, menjawab singkat, “Hari gini naik sepeda? Panas. Belum lagi di jalan sepeda nggak dianggep, diserempet orang terus ditinggal pergi mau apa hayo?”
Zahra Zafira Mutiara, Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) SMAN 3 Jogja, mengatakan kendati program Segosegawe telah diluncurkan Pemerintah Kota (Pemkot) Jogja, perwujudan Jogja kembali menjadi kota sepeda tetap bakal sulit dilakukan. “Hal ini karena masyarakat pada umumnya sudah terbiasa menggunakan kendaraan bermotor, terutama sepeda motor.”
Dia mengaku setuju dan mendukung program Pemkot Jogja tersebut, namun dirinya merasa anjuran bagi yang rumahnya di bawah 5 km untuk bersepeda kurang relevan. Zahra berpendapat ukuran dekat yang lebih cocok adalah 3 km.
“Kami tahu kemarin ada kegiatan peluncuran Segosegawe, tapi sepertinya siswa di sini tidak ada yang mengikuti, karena sepekan ini kebetulan pas ada ujian mid semester di sini,” terangnya.
Zahra juga menjelaskan sebelum program Segosegawe diuncurkan, beberapa siswa di sekolahnya sudah menggunakan sepeda sebagai sarana transportasi sehari-hari.
“Jumlahnya memang tidak banyak, hanya sekitar lima sampai sepuluh persen. Biasanya mereka yang bersepeda itu tinggalnya di dekat sekolah.” Zahra menilai siswa yang rumahnya jauh dari sekolah bakal kesulitan kalau dipaksakan harus naik sepeda.
Jalanan jadi semrawut
Menurutnya, program Segosegawe merupakan salah satu usaha pemerintah untuk mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. “Sekarang kan kebanyakan naik motor. Malah pelajar SMP pun ikut-ikutan naik motor.”
Padahal, sambung Zahra, pada umumnya remaja masih labil, sehingga keadaan jalanan menjadi semrawut. Selain itu, ia menilai isu global warming adalah alasan selanjutnya dari peluncuran program tersebut.
Ditegaskannya, program ini nantinya akan berakibat menaikkan jumlah pengguna sepeda, meskipun menurutnya tidak akan banyak. “Kebutuhan kita untuk bergerak cepat kan penting banget, jadi bakal sedikit saja yang beralih ke sepeda,” tandas Zahra.
Diberitakan sebelumnya, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X meluncurkan program Segosegawe di Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta, Senin (13/10). Program tersebut digagas oleh Pemkot Jogja.
Sekitar 2.000 peserta dari berbagai elemen warga dan berasal dari berbagai instansi di lingkungan Pemkot Jogja memeriahkan acara itu. Tidak ketinggalan para guru taman kanak-kanak (140 orang), guru SMP (1.177), guru SMA (844), guru SMK (172) dan karyawan (52).
“Kami datang karena ada surat yang meminta kami datang ke sini. Awalnya launching akan diadakan 7 Oktober pukul 06.00 WIB, tapi ternyata baru bisa dilakukan saat ini, padahal pada tanggal segitu saya membawa 35 anak dan dua pendamping,” kata Ign Atang Hartoko.
Ditemui di sela-sela acara, Atang yang juga guru SMP Pangudi Luhur 1 Yogyakarta dan tergabung dalam Ngepit Kemringet (nGeNget) Club itu lalu menunjukkan surat yang dikeluarkan Walikota Jogja bernomor 551/3261. Dia menuturkan bukan cuma dirinya yang kecewa.
Sekolah lain, seperti SMA Stella Duce, juga mengalami hal serupa soal keberadaan dan konsep dari Segosegawe. “Kami tidak paham dengan apa yang terjadi, karenanya saat itu kami sepakat pulang ke sekolah masing-masing tepat pukul 07.00 WIB. Kami berombongan (35 anak dan dua guru pendamping) pulang ke sekolah dengan perasaan bingung, benarkah Walikota membuat surat seperti itu?” ujar dia.
Paguyuban Onthel Jogja (Pojok) yang beranggotakan 400 orang dan menggunakan sepeda klasik, sebanyak 30 anggotanya menghadiri acara launching Segosegawe.
Ketua Pojok, Towil, menyambut baik ide untuk menghidupkan kembali Kota Jogja sebagai kota sepeda. Namun, dia meminta Pemkot hendaknya juga memperhatikan infrastruktur yang ada.
“Perlu diberlakukan lagi jalur hijau yang saat ini telah usang. Selain itu, pembuatan fasilitas publik terutama fasilitas parkir khusus untuk sepeda harus segera dilakukan. Kami juga mengusulkan agar Jalan Malioboro bisa dijadikan kawasan bebas kendaraan,” cetus Towil bersemangat.
Oleh Nugroho Nurcahyo, Deny Hermawan & Jumali
Sumber : Harian Jogja